DAKWAH UNTUK MENCAPAI RIDHA ILAHI

Monday, December 26, 2011

Ucapan Selamat Hari Raya Orang Kafir

Oleh bidadari_Azzam

Bismillahirrahmaanirrahiim, saya hanya ingin berbagi pengalaman, tidak bermaksud untuk berdebat, tidak pula berkapasitas menentang fatwa yang ‘ini’ atau fatwa yang ‘itu’.

Sebab dewasa ini memang makin menjamurnya bahasan fiqh-kontemporer serta kian banyak ulama yang memfatwakan berbagai hal namun cara penyampaian yang dilakukan malah bisa membuat masyarakat menangkap kerancuan makna akan fatwa tersebut. Apalagi jika ada tulisan berbentuk opini yang dianggap sebagai fakta atau kebenaran.

Kita selaku muslim/muslimah memang harus memahami dan mengamalkan ilmu yang didapat, dan hendaknya kita penuh kehati-hatian dalam mentransfer pengetahuan, menyadari landasan agama yang kita cintai ini, “Sami’na wa atho’na” terhadap aturan-Nya, petunjuk-Nya yang merupakan jalan keselamatan, dengan dua ‘bekal’ kita : Al-Qur’an dan Al-Hadits (sunnah).

Saudaraku pernah mengingatkan kalimat motivasi dari keempat Imam Madzhab :
Al-Imam asy-Syafi’i (Madzhab Syafi’i) mengatakan:

“Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu ketika saya masih hidup ataupun sudah mati.”

Al-Imam Malik (Madzhab Maliki) mengatakan:

“Saya hanyalah manusia biasa, mungkin salah dan mungkin benar. Maka perhatikanlah pendapat saya, jika sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka ambillah. Apabila tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah.”

Al-Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi) mengatakan:

“Tidak halal bagi siapa pun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana kami mengambilnya.” Dalam riwayat lain, beliau mengatakan, “Haram bagi siapa pun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai untuk berfatwa dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, perkataan yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan).”

Al-Imam Ahmad Bin Hambal (Madzhab Hambali mengatakan):

“Janganlah kalian taklid kepada saya dan jangan taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, ataupun (Sufyan) ats-Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka mengambilnya.

Subhanalloh, para imam besar itu amat berbesar hati dan memiliki kebijaksanaan serta pesan mereka merupakan bukti kecerdasan dan ketinggian ilmu yang mereka miliki, sedangkan kita yang hanya punya ilmu tak sampai seujung kuku, yang cuma ikut kajian sebulan sekali atau seminggu sekali, yang hafalan qur’an hadits masih itu-itu saja, alangkah beraninya memberikan penilaian fatwa yang X salah, atau fatwa yang itu aneh-aneh aja, bahkan fatwa-fatwa malah jadi bahan ejekan, dan ada yang berani pula mencomot potongan ayat sana-sini lalu disimpulkan sendiri menjadi pembenaran.

Padahal para ulama pun memiliki ilmu pengetahuan saat berfatwa, dan jika pun fatwa mereka bagaikan adanya perang fatwa karena perbedaan fatwa yang dikeluarkan ulama lain, yang bisa kita lakukan adalah kembali kepada Qur’an dan Sunnah.

Para ulama juga manusia biasa, budaya saling mengkritik dengan adab-adab yang baik adalah hal wajar dan kita sudah dewasa, tidak zaman lagi untuk men-jargon-kan ulama ini atau ulama itu gara-gara harokah yang ini atau harokah yang itu, hendaknya mencintai persaudaraan dalam ikatan-Nya, kita pererat ukhuwah islamiyah karena kecintaan pada-Nya.

Jangan pernah saling membenci hanya gara-gara berbeda pendapat, itu sangat merugikan, bukankah kita sudah belajar bahwa mencintai atau pun membenci sesuatu hendaknya karena Allah ta’ala semata?

Yang memperuncing problema ummat adalah media, mayoritas media massa dan elektronik mengutamakan rating dan keuntungan nominalnya, jadi seharusnya kita sudah hafal ‘skenario-skenario’ yang sudah sering terjadi dalam strategi memecah belah ummat di tanah pertiwi tersebut.

Dan di negeri kita, parahnya ada banyak orang yang sadar atau tidak, masih doyan dipuja-puji dunia, dielu-elukan meskipun bukan alim ulama, dipopulerkan, sehingga ketika berkata & bersikap dianggap sebagai fatwa oleh pengikutnya.

Kita tak pernah puas dalam mencari ilmu, kritis, dan ingin terus belajar, hal itu tentunya merupakan sifat positif yang harus dipertahankan. Dan untuk mendapatkan keberkahan-Nya, mencari ilmu bermanfaat itu tentu harus diniatkan untuk meraih cinta-Nya.

Sekarang mari tanyakan dalam hati, apakah sikap dan perkataan kita hari ini sudah menjadikan kita makin dekat pada-Nya, ataukah malah jadi menjauh dari-Nya?

Jika kita memilih andil pada perayaan hari raya kafir (mengucapkan salam, makan-makan bareng, tukar kado bareng, dsb hingga tanpa menyadari ada “wishing bareng” yang berupa do’a bersama) atau memilih tidak andil, manfaatnya atau mudharatnya apa, kita bisa berkaca sendiri.

Dua hari ini saya sibuk mencari-cari email yang terhapus dari temanku (yang ikut milist internasional) yang mengkaji hadits, maafkan, emailnya tak ketemu sehingga saya tak bisa menceritakan kronologis yang panjang tentang seorang muslim bernama Ahmad (asal negeri muslim) yang tinggal di Amerika.

Singkatnya, Brother Ahmad sedang ceramah di lingkungan kampusnya, “Ini tentang seorang George, ia punya istri dan anak dua. George ini adalah pengikut katholik taat, pengkaji bible yang amat rajin, misa yang diikutinya amat disiplin, malah ikut misa di beberapa gereja.

George amat bijaksana, ia mengajarkan anak dan istrinya tentang nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasul-Nya yang terakhir… Bahkan setiap ramadhan, ia dan keluarganya berpuasa, ketika iedul adha tiba, mereka menyembelih hewan kurban atas nama Allah. Inilah pengorbanan, kepada Tuhan, kata George…”, awal cerita yang aneh. Saya pun kaget membacanya.

Para pendengar rata-rata melongo, lantas berteriak, “Huuuu…huuu… Bohooong!”, semua protes, “No, There is no George’s family in America who celebrate eid ul adha…bohooong, Ahmad, kamu mengarang kan?”, teriak mereka. Semuanya ribut, tak percaya bahwa ada keluarga George yang katholik tapi melaksanakan puasa ramadhan, dan perayaan ied-muslim. Gemuruh ruangan itu. “Huuu… huuuu…..”.

Lantas Ahmad kembali konsentrasi di depan mic, “Oke…sekarang, kenapa kalian sulit menerima kenyataan adanya keluarga George yang beriedul adha dan puasa ramadhan? Padahal setiap desember kalian mengundangku merayakan natal bersama-sama dengan dalih bahwa natalan adalah berkah buat semua manusia?!

Wallohi, memang saya tak pernah sekali pun melihat orang non-muslim yang merayakan iedul fitri, iedul adha apalagi berpuasa di bulan ramadhan---apalagi mengetahui maknanya, ketika muslim merayakan iednya, terutama di negara-negara mayoritas kafir, suasananya amat sederhana, tak ada gempita ucapan selamat dari kalian, termasuk tetanggaku yang se-appartemen, dia tak datang ketika kuundang di hari raya, bahkan muslim sering tidak bisa merayakan hari raya dengan keluarga jika hari itu bukan hari libur, tidak ada toleransi hari libur buat perayaan ied kami.

Tapi yang membuat hatiku hancur, ketika diriku pulang kembali ke negeri-negeri mayoritas muslim, justru saudara-saudariku malah merayakan perayaan kafir bersama-sama, bahkan di negara bermayoritas muslim pun, natal, tahun baru, dan sebagainya dijadikan tanggal merah alias libur! Kalian yang selama ini bohong, kalian bilang bahwa keberkahan dan kedamaian natal buat semua manusia sebagai bentuk tipu daya agar saudara-saudariku makin jauh dari nilai islam!”, semuanya terdiam. Sindiran yang tepat akan tipu daya mereka.

Benar kalimat brother Ahmad, saya juga yang sudah tahun ke lima berhari raya di negeri asing merasakan besarnya “kekuasaan orang kafir” terhadap hidup ummat Islam. Jika ied jatuh di hari senin berarti waktu kerja, maka suamiku tak bisa sholat ied, kecuali mengambil jatah cuti hari tersebut.

Sementara di negara bermayoritas muslim, ragam hari raya ummat non-muslim malah dimeriahkan dengan perayaan bersama-sama, mengotori nilai tauhid dan menjadikan generasi muslim kian terpuruk. Toleransi yang kebablasan.

Saya juga punya banyak teman non-muslim, dan mereka sudah tau bahwa saya lebih memilih ‘proteksi’ terhadap keteguhan tauhid, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Adalah sebuah resiko jika dengan sikap yang tidak ikutan merayakan, tidak ikut mengucapkan selamat, dan tidak ikut andil membantu si teman tersebut membuatnya jadi berkurang cinta, berkurang rasa suka atau malah membenciku, saya harus menerima hal itu, sebab saya yakin bahwa sikapku tersebut merupakan jalan untuk makin dekat kepada-Nya.

Temanku membagi-bagikan hadiah ‘natal’ pada anak-anakku beberapa hari lalu, dan kukatakan, “Saya kalau ngasih kamu hadiah, gak ada hari khusus lho yah…”, sehingga ia memaklumi jika hadiahnya tak berbalas di hari natal, dan ternyata kepada teman se-agamanya ia bercerita melalui akun on-linenya (yang terbaca olehku karena dia memang agak gaptek) tentang pemberian hadiah itu dengan kalimat yang tak kusukai, “Yah ini kan sudah tradisi kita…dan yang penting anak-anak si Ummu Azzam sudah mendapatkan berkat juga sebagai anak Tuhan…?”, What?!!! Bayangkanlah, grrrrrh…. saya jadi bernyanyi kecil, ‘ternyata… oh ternyata…’.

Lantas, ketika ada teman non-muslim lainnya yang berhari raya dan tetap berusaha menyemangati diri kita agar ikut andil pada hari rayanya, mengundang ‘hanya lunch atau dinner’ yang selanjutnya berbumbu nyanyian di bawah pohon natal misalnya.

Kemudian pernah tatkala kutanyakan, “Kenapa?”, ternyata jawabnya adalah, “Yaaah, kan semua agama itu baik, arahnya baik, merayakan hari besar itu kan baik, berkatnya dapat semua, kedamaian buat semua…”, nah, disinilah letak pluralisme menjalar, mari kita bersikap waspada dan hati-hati.

"Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanya Islam'. (baca tafsir qur’an surah Ali-‘Imran[3]:19).

Mencampur-adukkan agama bukanlah ajaran Islam. Saudara-saudariku yang muallaf pun masih banyak kerisauan, di saat budaya ‘makan-makan bareng’ kata keluarganya hanya tradisi, ternyata masih tetap ada saja momen do’a bersama, dan kegiatan lain yang tidak sreg di hati mereka, hati yang sudah bercahayakan hidayah Islam. Memurnikan nilai tauhid merupakan perjuangan. Tak ada pilihan bagi kita selain terus berjuang di jalan-Nya, Selamat berjuang!


(bidadari_Azzam, @Islamic-Centre, Krakow, malam 30 Muharram 1433H)

0 comments:

Cepretan

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template